Sabtu, 03 Desember 2011

ARBA'IN NAWAWI



BAB I
PENDAHULUAN
Dalam pembahasan makalah kali ini, kami akan mengulas kitab Arba’in Nawawi meskipun yang akan kami ambil melalui terjemahan Syarah Kitab Hadits Arba’in. Dari sini, sebenarnya banyak ulama’ yang menyusun Hadits Arba’in. Ada yang menghimpun empat puluh hadits mengenai ushuluddin, mengenai furu’, mengenai jihad, mengenai zuhud, mengenai adab, dan ada pula yang mengenai khutbah.
Hadits Arba’in yang dihimpun oleh Imam Nawawi ini memuat empat puluh hadits yang lebih penting dari itu, yang mencakup semua itu dan masing-masing hadits mengadung sebuah kaidah agama yang agung, di mana para ulama menyebutnya sebagai poros ajaran islam, separoh islam, sepertiga islam, atau sebutan lain semacamnya.
Kesemua hadits yang dihimpun di sini Shahih, sebagian besar bersumber dari  Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Seyogyanya, anda yang mencita-citakan kebahagiaan di kehidupan akhirat mengerti hadits-hadits ini, karena ia mengandung berbagai masalah penting dan peringatan mengenai seluruh amal kebajikan.
Oleh karena itu, dalam pembahasan kali ini, kami akan mencoba menjelaskan secara gamblang terhadap syarah hadits arba’in yang di susun oleh imam anwawi ini, semoga hasil dari makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya. Amin.......









BAB II
PEMBAHASAN
A.                 Biografi  nawawi
Beliau adalah imam yang hafidz dan hujjah, beliau mempunyai nama lengkap yaitu Yahya bin Syaraf  bin Mizzi bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jam’ah bin Haram An-Nawawi. Lahir pada awal Muharram 631 H. Di Nawa, salah satu kota di Damaskus.[1]
An-Nawawi menghindari tindakan-tindakan dungu berupa keberlebihan dalam berpakaian bagus, memakan makanan lezat, atau berhias melebihi kebiasaan. Beliau cukup dengan memakan roti dengan sedikit lauk, berpakaian kain katun, dan mengenakan beberpa jubah yang  halus.
Ada suatu kisah, bahwa salah seorang ikhwannya mendorong beliau menikah, maka jawab beliau:”apa perluku kepada pernikahan yang akan menyebabkanku lupa dari sesuatu yang paling kucintai, yaitu ilmu?” maka, sampai wafat, beliau belum menikah.
Ø     Guru-guru beliau
Beliau belajar dari Abu Ibrahim Ishaq bin Ahmad Al-Maghribi, Abu Muhammad bin Abdurrahman bin Nuh Al-Maqdisi, Abu Hafs Umar bin Sa’ad Ar-rabi’i Al-Arbali, Abul Hasan Salar bin Hasan Al-Arbali, Abu Ishaq Ibrahim bin Isa Al-Marani, Abul Baqa’ Khalid bin Yusuf An-Nabalusi, Dhiya’ bin Tamam Al-Hanafi, Abul Abas Ahmad bin Salim Al-Mishri, Abu Abdullah  Muhammad bin Abdullah bin Malik Al-Jiyani, Abul Fath Umar bin Bandar At-Taflisi, Abu Ishaq bin Ibrahim bin Ali Al-Wasithi, Abul Abas bin Abdud Daim Al-Maqdisi, Abu Muhammad Ismail bin Abul Yasar At-Tanukhi, Abu Muhammad Abdurrahman bin Salim An-Anbari, Abul Faraz bin Muhammad bin Qudamah Al-Maqdisi, Abu Muhammad bin Abdul Aziz bin Muhammad Al-Anshori dan sejumlah ulama terkemuka lainnya.
Ø     Siapa murid-murd beliau?
Diantara murud-murid beliau adalah: ‘Alaudin bin ‘Athar, Abul Abbas Ahmad bin Ibrahim bin Mus’ab, Abul Abbas Ahmad bin Muhammad Al-Ja’fari, Abul Abbas Ahmad bin Faraj Al-Asybilli, Ar-Rasyid Ismail bin Al-Mu’alim Al-Hanafi, Abu Abdullah Muhammad bin Abil Fath Al-Hanbali, Abul Abbas Ahmad Adh-Dharir Al-Wasithi, Jamaludin Sulaiman bin Umar Ad-Dar’i, Abul Faraj Abdurahman bin Muhammad Al-Maqdisi, Al-Badar Muhammad bin Ibrahin bin Jamaah, Asy-Syams Muhammad bin Abu Bakar bin ‘An-Naqib, Asy-Syihab Muhammad bin Abdul Khaliq Al-Anshari, Asy-Syaraf Hibatullah bin Abdurahim Al-Bari, Abul Hajaj Yusuf bin Abdurahman Al-Mizzi, dan banyak ulama besar lainnya.
Ø     Tulisan atau karya-karya beliau
Beliau menulis bayak kitab, di antaranya yaitu: Riyadhus Shalihin, Syarhu Muslim, Al-Adzkar, Al-Arba’in An-Nawawiyah, At-Tibyan, Mukhtasharut Tibyan, Al-Minhaj Fi Fiqhis Syafi’iyah, dan Ar-Roudhah Fi Fiqhisy Syafi’iyah- kitab ini telah di cetak dan di biayai oleh pemerintah Qatar.
Ø      Keberanian beliau dalam kabenaran
Beliau bisa berhadapan  dengan para raja dan pejabat untuk melakukan amar makruf nahi munkar tanpa mempedulikan celaan orang lain. Beliau menyatakan kebenaran dengan cara bijaksana dan nasehat yang baik. Kadang-kadang beliau bersikap keras terhadap pelaku kebatilan, jika mereka layak diperlakukan demikian. Beliau menulis surat-surat kepada mereka, menasehatkan mereka agar berlaku adil terhadap rakyat dan menjauhi perbuatan maksiat. Beliau memerintahkan untuk mengembalikan hak kepada pemiliknya.
Pada tahun 667 H, beliau kembali ke Nawa setelah mengembalikan buku-buku pinjaman kepada para pemiliknya. Beliau melakukan ziarah kubur untuk mengucapkan salam kepada guru-gurunya yang telah wafat. Beliau berdo’a dan menangis, serta berkunjung kepada para sahabatnya yang masih hidup dan berpamitan kepada mereka. Sekelompok dari sahabat-sahabat beliau mengantarkan kepergian beliau sampai di luar Damaskus. Salah seorang dari mereka berkata: “kapan kita bisa berjumpa lagi, syaikh?” beliau menjawab, “bertahun-tahun lagi.” Tahulah mereka bahwa yang dimaksudkan oleh beliau adalah pada hari kiamat. Setelah berkunjung kepada ayahanda, beliau pergi ke baitul maqdis dan al-Khalil (Hebron), kemudian kembali ke Nawa. Sekembali dari sana, beliau jatuh sakit hingga wafat pada malam Rabu, bertepatan pada tanggal 24 Rajab 676 H. Dalam usia 45 atau 46 tahun. [2]
B.                 Penyusunan, muqoddimah, serta perbandingan ulama’ dalam hadits arba’in nawawi
Dalam penyusunan kitab hadis Ar-ba’in Nawawi ini, beliau menjabarkannya sangat gamblang. Dimulai dari dicantumkannya hadis-hadis tertentu serta tak lupa arti dari hadis tersebut, kemudian penjelasan yang luas dari keterangan hadis seperti halnya syarah hadis, penilaian terhadap hadis: apakah hadis tersebut shahih atau dhaif, penjelasan terhadap bahasan (kandungan hadis) kemudian Asbabul Wurudnya, kesimpulan yang beliau simpulkan dan tak lupa perbadingan atau perbedaan pendapat para ulama terhadap matan hadis tersebut. Seperti contoh hadis yang akan di sampaikan pada pembahasan di bawah ini;
عن أمير المؤ منين أبي حفص عمربن الخطّاب رضي الله عنه-قال: سمعت رسول الله صلّى الله عليه وسلم يقول: "إنّما الأعمال بالنّيّات وإنّما لكلّ امرى مانوى, فمن كانت هجرته ألى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أوامر أة ينكحها فهجرته إلى ماهاجر إليه" رواه إماما المحدّ ثين: أبو عبد الله محمّد ابن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبه البخاري وأبو الحسين مسلم بن الحجّاج بن مسلم القشيري النّيسا بوريّ في صحيحيهما الّذين هما أصحّ الكتب المصنّف
Artinya:
“dari amirul mukminin, abu hafs, umar bin khatab yang berkata: saya pernah mendengar rasulullah bersabda: “sesungguhnya, amalan-amalan itu tergantung kepada niat, dan setiap orang akan menadapatkan sesuai yang di niatkannya. Maka, barangsiapa niat hijrahnya kepada allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya diterima oleh allah dan rasul-Nya; barangsiapa yang niat hijrahnya untuk dunia yang akan diperolehnya atau wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu pun akan sampai kepada apa yang diniatkannya.” HR. Dua imam ahli hadits: abu abdullah muhammad bin ismail bin ibrahim bin mughirah bin bardizbah al-bukhari dan abul husain muslim bin hajaj bin muslim al-qusyairi an-naisaburi dalam kitab shahih mereka yang merupakan dua kitab tulisan manusia yang paling shahih.”[3]
Hadits ini Shahih dan Masyhur, kesahihannya disepakati oleh Bukhari dan Muslim. Para imam yang enam dan lainnya mengeluarkan hadits ini dalam kitab-kitab mereka, dari Umar bin Khatab, hadits ini merupakan poros islam dan salah satu simpul hukum Nabi Muhammad SAW,. Telah dikutip secara Mutawattir dari para ulama bahwa mereka mengakui keluasan manfaat dan keagungan pengaruh hadits ini. Mereka juga memulai kitab-kitab mereka dengan hadits ini,lantaran luasnya kebutuhan kepadanya. Abu Ubaidah berkata: "tidak ada kandungan hadits-hadits Nabi yang faedahnya lebih luas dan lebih banyak dari pada hadits ini."
Imam Syafi'i, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Mahdi, Ibnul Madini, Abu Daud, Ad-Daruqutni, dan lain-lain bersepakat bahwa hadits ini merupakan sepertiga ilmu. Ada pula yang mengatakannya seperempatnya.
Al-Baihaqi menjelaskan alasan penilaiannya sebagai sepertiga ilmu: “bahwa amalan hamba itu dilakukan oleh hati, lidah, dan anggota badannya. Maka, niat merupakan salah satu dari ketiga kategori itu dan meruipakan kategori amalan yang paling utama, karena ia merupakan ibadah yang berdiri sendiri sedangkan amalan lain memerlukannya. Karena itu, dikatakan: "niat seorang mukmin itu lebih baik daripada amalnya.
Ibnu Mahdi berkata: "hadits tentang niat, termasuk dalam tiga puluh bab keilmuan."asy-syafi'I berkata: "termasuk dalam tujuh puluh bab." Ada pula ulama yang mengatakan: "andaikata aku menulis seratus kitab, tentu aku mengawali masing-masing kitab dengan hadits ini."[4]
Ketika Rasulullah SAW, tiba di Madinah bersama beberapa sahabatnya, datanglah seseorang yang menikahi wanita muhajirah. Maka Rasulullah SAW, duduk diatas mimbar lantas bersabda: "Wahai manusia! Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung kepada niat," sampai tiga kali. "maka, siapa yang niat hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Adapun siapa yang niat hijrahnya untuk dunia yang akan diperolehnya atau wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya akan sampai kepada apa yang diniatkannya." Kemudian beliau mengangkat kedua telapak tangan seraya berdo'a: "jauhkan kami dari bencana", samapai tiga kali.
ü    Penjelasan atau Syarah hadits
Dalam penyusunan kitab "Arba'in Nawawi" ini adalah himpunan empat puluh hadits pilihan- tepatnya empat puluh dua hadits nabi saw yang sah- mencakup undang-undang islam, mengenai masalah-masalah ubuddiyah, mu'ammalat, dan lain-lain.[5]
Hadits Nabi SAW adalah sabda atau perbuatan Nabi SAW., yang dijadikan pedoman dalam menentukan sesuatu hukum, demikian pula kata atau perbuatan seseorang sahabat yang dibenarkan atau disetujui Rasulullah SAW. Hadits Nabi SAW, menduduki tempat kedua sumber hukum islam yang empat (Al-Qur'an, Al-Hadits, Al-Ijma', dan Al-Qiyas). Oleh karena itu, mempelajari hadits Nabi SAW adalah wajib bagi kaum muslimin.
a.         Niat, Mengenai pengertian niat ini terdapat beberapa pengertian yang diantaranya yaitu:
           Niat yang dimaksud di sisni adalah kehendak yang ditujukan pada sesuatu amalan dengan mengharapkan kerelaan Allah SWT. Dengan demikian amalan harus murni untuk Allah dan tidak dapat dicampur dengan tujuan yang lainnya. Niat adalah pokok semua amal ibadat dan termasuk kaidah pertama masalah-masalah fikih. [6]
           Dengan ungkapan yang lebih luas, niat adalah tergeraknya hati menuju apa yang dianggapnya sesuai dengan tujuan baik berupa perolehan manfaat atau pencegahan mudarat. Sedangkan, menurut pengertian Syara' niat adalah kehendak kepada perbuatan dalam rangka mencari ridha Allah dan melaksanakan hukum-nya. [7]
           Niat menurut arti bahasa adalah sengaja, bermaksud, berkehendak. Dalam istilah syariat adalah menghendaki, bermaksud, dan bersamaan pula dengan pelaksanaanya.. apabila niat itu masih agak lama waktunya dinamakan A'zam. Diwajibkannya niat itu untuk membedakan adat kebiasaan dan ibadat, atau antara berbagai macam ibadat, seperti duduk di masjid untuk istirahat, itu adat atau untuk iktikaf duduk di dalam masjid maka itu ibadat. Jadi yang membedakan antara ibadat dan adat adalah niat.[8]
Hadits ini menunjukkan bahwa niat itu sebagai tolok ukur atau barometer untuk sahnya amal perbuatan, apabila tepat niatnya sahlah amalnya, dan apabila rusak niatnya, maka rusaklah amalnya. Maka dari itu setiap amal disertai dengan niat yang mana hal ini di bagi menjadi tiga macam: [9]
1.         jika mengerjakan amal perbuatan itu takut karena allah maka ini merupakan ibadah para hamba.
2.         jika mengerjakan amal perbuatan itu karena menginginkan surga dan pahala, maka ini merupakan ibadahnya para pedagang.
3.         jika mengerjakan amal perbuiatan itu karena menunaikan kewajiban sebagai hamba dan mensyukuri nikmat Allah, sedangkan ia selalu merasa belum memenuhi kewajibannya, karena ia belum mengetahui apakah diterima atau tidak, maka ini merupakan ibadahnya orang yang merdeka.
Mengenai keadaan ketiga inilah Rasulullah SAW, mengisyaratkan saat beliau melakukan qiyamul lail hingga kedua telapak kaki beliau bengkak, lantas ditanya oleh Aisyah ra. "Ya Rasulullah SAW, mengapa anda memberatkan diri seperti ini, sedangkan Allah telah mengampuni dosa-dosa anda yang telah lampau maupun yang akan datang?" beliau menjawab: "tidakkah selayaknya aku menjadi hamba yang bersyukur?”.
Ketiga keadaan ini harus ada pada diri orang-orang yang ikhlas. Ketahuilah bahwa keikhlasan itu bisa dikotori oleh penyakit banga diri. Barangsiapa yang membanggakan amalnya, maka musnahlah pahala amal itu. Demikian pula, siapa yang takabbur, maka pahala amalnya akan musnah.
Dari sini, riya' dapat di kategorikan menjadi dua macam. Pertama, seseorang tidak menghendaki dari amalnya kecuali pujian manusia. kedua,seseorang menghendaki pujian manusia sekaligus ridha dari tuhan. Kedua macam riya' ini bisa memusnahkan pahala amal.[10]
As-Samarqandi berkata: "yang dilaksanakan karena Allah, akan di terima. Sedangkan yang dilaksanakan untuk manusia, di tolak. Contohnya: seseorang melaksanakan shalat dengan tujuan melaksanakan apa yang diwajibkan oleh Allah Ta'ala kepadanya, tetapi ia memanjangkan rukun-rukun dan bacaan-bacaan shalat serta memperbagus cara pelaksanaannya agar dipuji oleh manusia, maka pada dasarnya shalat tersebut diterima, akan tetapi panjang dan baiknya tata cara pelaksanaan yang ditujukan untuk manusia itu tidak di terima, karena itu dilakukannya untuk manusia."
Syaikh 'Izzudin bin Abdus Salam pernah ditanya tentang orang yang memanjangkan shalatnya dengan tujuan agar dilihat oleh manusia. Beliau menjawab, "saya berharap, amalnya tidak musnah. Semua ini bila penyekutuan terletak pada sifat perbuatan, akan tetapi bila itu terletak pada pangkal perbuatan, misalnya ia melaksanakan shalat dengan niat karena allah sekaligus untuk manusia, maka shalatnya tidak diterima lantaran terjadi penyekutuan pada pangkal perbuatan."
Di samping bisa terjadi ketika melakukan amal, riya' juga bisa terjadi ketika meninggalkan amal. Fudhail bin 'Iyadh berkata: "meninggalkan amal karena manusia adalah riya', melakukan amal karena manusia juga riya'. Ikhlas adalah bila allah menghindarkanmu dari keduanya."
b.         Hijrah, Mengenai pengertian hijrah sendiri banyak berbagai versi yang diantaranya antara lain adalah:
           Berhenti dari perbuatan maksiat dinamakan juga hijrah (wajib). Pindah dari tempat maksiat atau yang membahayakan keselamatan adalah hijrah wajib. [11]
           Hijrah menurut arti bahasa adalah meninggalkan satu tempat menuju tempat lain. Ia yang diambil dari asal kata al-hajru. Sedangkan pengertian hijrah menurut syara' adalah meninggalkan daerah yang tidak aman menuju daerah yang aman, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum muslimin ketika meninggalkan mekkah menuju habasyah pada masa awal dakwah.
Juga meninggalkan daerah kekafiran menuju daerah islam dalam rangka menyelamatkan agama, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum muslimin ketika meninggalkan Mekah menuju Madinah, sehingga islam tersebar luas disana. Kata hijrah digunakan juga untuk menyebut tindakan meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.
Asalnya, arti berhijrah adalah meninggalkan. Istilah hijrah bisa digunakan untuk menyebut beberapa hal:
Pertama, hijrah sahabat dari mekah ke habasyah ketika kaum musyrik menyakiti Rasulullah SAW sehingga mereka meninggalkan beliau untuk menjumpai Najasyi. Hijrah ini terjadi 5 tahun setelah diutusnya Rasul demikian dikatakan oleh Baihaqi.
Kedua, hijrah dari mekah ke madinah. Ini terjadi tiga belas tahun setelah diutusnya Rasulullah. Saat itu, setiap muslim Mekah wajib melaksanakan hijrah untuk bergabung bersama Rasulullah di Madinah. Sejumlah ulama menyatakan bahwa hijrah dari Mekah ke Madinah mutlak wajib. Tetapi yang benar tidaklah mutlak demikian. Yang wajib tidak lain adalah berhijrah untuk bergabung kepada Rasulullah SAW.
c.         Sebab-sebab Nabi SAW bersabda dengan hadits ini karena di antara para sahabat ada seseorang yang ikut mengungsi ke madinah, tapi sebenarnya ia mengikuti jejak seseorang perempuan yang ia ingin mengawininya. Di luar ia kelihatan hijrah, tunduk pada perintah Nabi SAW, tapi sebenarnya karena tertarik pada Ummu Qais dan karena itu ia diberi gelar Muhajirin Ummu Qais.
d.         Riwayat singkat nama-nama orang yang menyertai hadits ini.
1.         Umar bin Khatab
Ia adalah khalifah pertama yang digelari "Amirul Mukminin". Yang menyebutnya dengan kun-yah Abu Hafs adalah Nabi SAW lantaran beliau meliaht keberaniannya. Hafs secara bahasa berarti "Singa". Ia juga dijuluki dengan "Al-Faruq", karena ia merupakan “Pemisah antara Kebenaran dan Kebatilan”. Ia adalah sahabat yang pertama kali menyatakan keislaman dengan terang-terangan dan sahabat yang paling utama setelah Abu Bakar. Dengannya Allah mengokohkan dakwah Nabi SAW As-Shadiqqul Mashduq ini. Itu terjadi pada saat Nabi SAW berdo'a kepada Allah: "Ya Allah, muliakanlah islam dengan salah satu dari dua lelaki ini yang lebih engkau cintai: Umar bin Khatab atau Amru bin Hisyam (Abu Jahal)." Ada 539 hadits dari Rasulullah SAW yang diriwayatkan melaluinya. Ia hidup selama 63 tahun, gugur sebagai syahid disebabkan oleh tikaman Abu Lu'luah. Ia dikuburkan di kamar Aisyah, di sisi Nabi SAW. Kekhalifahannya berlangsung selama kurang lebih 10 tahun, 6 bulan, 5 hari.  [12]
2.         Imam Bukhari
Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah gelar Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah bangsa Bukhara'. Dan karena itu beliau lebih dikenal dengan sebutan Imam Bukhari. Beliau dilahirkan pada tanggal 13 Syawal 194 H. sejak muda beliau banyak berkeliling di negara-negara tetangga untuk menuntut ilmu, terutama tentang hadits Nabi SAW. Seperti di Khurasan, Irak, Hijaz, Palestina, dan Mesir. Terutama di Baghdad (Irak) kota ilmu. 100.000 hadits sahih sampai dengan sanad-sanadnya beliau hafal di luar kepala di samping 200.000 buah yang tidak sahih. Kitab sahihnya yang beliau susun selama 16 tahun memuat 7275 hadits sahih di akui oleh para ulama ahli hadits sedunia. Setelah beliau pulang ke Bukhara' sesampainya di Khartanak dekat dengan negara Samarkhand beliau wafat pada malam Idul Fitri dalam usia 62 tahun.
3.         Imam Muslim
Nama lengkapnya adalah Abu Husain dengan gelar Muslim bin Hajaj bin Muslim dari suku Qusyairi di Naisabuur, dilahirkan pada tahun 206 H. setelah banyak menuntut ilmu di negeri sendiri, beliau lalu banyak merantau keberbagai negeri untuk maksud yang mulia. Dalam usia 10 tahun beliau hafal di luar kepala ribuan hadits dengan sanad-sanadnya. Karangannya ialah "Sahih Muslim" memuat 4.000 hadits sahih dan para ulama ahli hadits seluruh dunia mengakui Imam Muslim setaraf dengan Imam Bukhari dan bersama-sama dengan imam ini beliau mendapat gelar "Asy-Syaikhan" (dua orang guru besar ahli hadits). Dan Sahih Muslim pun diakui sebagai kitab tershahih sesudah Al-Quranul Karim bersama-sama Sahih Bukhari. Kedua kitab ini dijadikan pedoman para ulama dalam menentukan hukum sesudah Al-Qur'an. Imam Muslim wafat di Naisabuur pada bulan Rajab tahun 261 H dalam usia 55 tahun.
Sabda beliau ini mengandung pengertian bahwa tidak ada pahala bagi orang yang berhaji dengan niat berdagang atau bertamasya. Seyogyanya, hadits tersebut dibawa kepada pengertian: bila motivasi dan dorongan seseorang dalam melaksanakan haji semata-mata berdagang. Akan tetapi bila motivasinya adalah menjalankan ibadah haji, maka ia tetap memperoleh pahala. sedangkan perdagangan sekedar mengikutinya, akan tetapi pahalanya lebih sedikit dibandingkan orang yang berpergian untuk berhaji semata. Apabila yang mendorong kepergiannya adalah dua-duanya, maka ada kemungkinan ia memperoleh pahala, karena kepergiannya tidak semata-mata untuk dunia, tetapi ada kemungkinan tidak demikian, lantaran ia telah mencampur amalan akherat dengan amalan dunia. Namun, hadits ini hanya menetapkan hukum semata-mata berdasarkan maksud. Adapun orang yang bermaksud melakukan kedua-duanya, maka tidak bisa dikatakan bahwa ia pergi untuk tujuan dunia semata. Wallahu'azza wa jalla a'lam.
ü  Muatan atau kandungan hadits[13]
a.       Semua amalan tidak sah kecuali bila disertai dengan niat
b.      Orang mukmin memperoleh pahala berdasarkan niatnya
c.       Barangsiapa amalannya ikhlas karena allah, maka diterima
d.      Barangsiapa amalannya lantaran riya’, ingin dilihat orang lain, maka tidak diterima.
ü  Kesimpulan hadits
a.       Segala urusan itu dinilai berdasarkan maksudnya
b.      Manusia dengan niatnya bisa memperoleh apa yang tidak diperolehnya dengan amalannya
c.       Semua amalan tergantung pada niatnya
d.      Yang membedakan ibadah dan adat adalah niat
e.       Niat seorang mukmin bisa mencapai batas manapun yang bisa dicapai oleh amalan.








BAB III
PENUTUP

Imam Nawawi mempunyai nama lengkap yaitu Yahya bin Syaraf  bin Mizzi bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jam’ah bin Haram An-Nawawi. Lahir pada awal Muharram 631 H. Di Nawa, salah satu kota di Damaskus.
Setelah berkunjung kepada ayahanda, beliau pergi ke Baitul Maqdis dan Al-Khalil (Hebron), kemudian kembali ke Nawa. Sekembali dari sana, beliau jatuh sakit. Beliau wafat pada malam Rabu, bertepatan pada tanggal 24 Rajab 676 H. Dalam usia 45 atau 46 tahun. 
Dalam penyusunan kitab hadis Ar-ba’in Nawawi ini, beliau menjabarkannya sangat gamblang. Dimulai dari dicantumkannya hadis-hadis tertentu serta tak lupa pula arti dari hadis-hadis tersebut, kemudian penjelasan yang luas dari keterangan hadis seperti halnya syarah hadis, penilaian terhadap hadis: apakah hadis tersebut shahih atau dhaif, penjelasan terhadap bahasan (isi/kandungan hadis) kemudian asbabul wurudnya, kesimpulan yang beliau simpulkan dan tak lupa perbadingan atau perbedaan pendapat para ulama terhadap matan hadis tersebut.










DAFTAR PUSTAKA
An-Nawawi, Al-Imam Yahya bin Syarafudin, syarah hadis arbai’n, terjemah. Hawin Murtadho & Salafudin A.J, Cemani: al-Qowam, 2001
An-Nawawi, Al-Imam, Hadits arba’in nawawy, terjemah. Abdul Majid Tamim, Surabaya: Sinar Wijaya, 1984
An-Nawawi, Al-Imam, Syarah hadis arba’in, terjemah. Abdullah Bahreisy, Surabaya: Putra Al-Ma’arif, 1996


[1] An-nawawi, Al-imam Yahya bin Syarafudin, syarah hadis arbai’n, terjemah. Hawin Murtadho & Salafudin A.J, (Cemani: al-Qowam, 2001) hal. 5
[2] An-nawawi, Al-imam Yahya bin Syarafudin, syarah hadis arbai’n, ………… hal. 13
[3] An-nawawi, Al-imam, Hadits arba’in nawawy, terjemah. Abdul majid tamim, (Surabaya: Sinar Wijaya, 1984) hal. 1
[4] An-nawawi, Al-imam Yahya bin Syarafudin, syarah hadis arbai’n, ………… hal. 25
[5] An-nawawi, Al-imam, Hadits arba’in nawawy, terjemah. Abdul majid tamim,………. Hal. iv
[6] Ibid…………….hal. 2
[7] An-nawawi, Al-imam Yahya bin Syarafudin, syarah hadis arbai’n, ………… hal. 27
[8] An-nawawi, Al-imam, Syarah hadis arba’in, terjemah. Abdullah Bahreisy, (Surabaya: Putra Al-ma’arif, 1996) hal. 18
[9] Ibid………………. hal. 14
[10] An-nawawi, Al-imam Yahya bin Syarafudin, syarah hadis arbai’n, terjemah. Hawin Murtadho…………..hal. 29
[11] An-nawawi, Al-imam, Hadits arba’in nawawy, terjemah. Abdul majid tamim,………. Hal. 3
[12] Ibid…………… hal. 5
[13] An-nawawi, Al-imam Yahya bin Syarafudin, syarah hadis arbai’n, terjemah. Hawin Murtadho…………..hal. 41

Tidak ada komentar:

Posting Komentar