Sabtu, 03 Desember 2011

NKRI vs NII




Bangsa Indonesia saat ini dihadapkan permasalahan baru dari kesekian deretan masalah yang tak kunjung usai. Belum juga tuntas kasus Gayus Tambunan, kasus Ahmadiah, dan sederetan kasus yang memadati Headline berbagai media, bangsa Indonesia dihadapkan masalah yang begitu urgen mengancam NKRI. Indonesia, negara yang proses menuju deklarasi kemerdekaannya melibatkan berbagai penganut agama, suku dan ras dalam mewujudkan terbentuknya negara, pengorbanan serta perjuangan mereka akan dikoyak bahkan diberangus dengan masuknya dogtrin segelintir orang --yang dengan semena-mena mengatasnamakan Islam, ingin menjadikan negara Indonesia yang berasaskan pancasila menjadi negara Islam (yang menurut pemahaman mereka) berasaskan teokratik. Usaha pendirian negara Islam tersebut berlangsung secara kesimambungan dari sebelum dideklarasikannya negara Indonesia hingga hari ini. Usaha yang dilakukan pun beragam, serta telah menjamah segala hirarki masyarakat. Ada yang secara halus mengemas dogtrin dengan bungkus dalil-dalil al-Qu`an, dan ada pula yang secara ekstrim menculik sebagian masyarakat untuk didogtrin dalil-dalil pendirian Negara Islam di Indonesia. Dan hari ini aksi dogtrin pendirian NII maupun yang sepaham dengan hal tersebut sudah merambah ke dunia Mahasiswa.
Menengok sekilas Asal Usul Islam
            Suatu agama, baik yang mengaku sebagai agama wahyu maupun bukan, tidak bisa lepas dari pengaruh situasi asal-usulnya yang kompleks. Proses historis juga berperan dalam kausalitas sosial.
            Dalam perjalanan kehidupan nabi, menjelang dewasa, nabi menemukan suasana yang sangat kacau di Makah, tempat Islam dilahirkan. Seorang yang mendapat gelar Al-amin tentunya sangat gelisah melihat situasi yang ada dihadapannya, dan mencari jalan keluarnya. Hal ini kemudian menuntunnya melakukan meditasi di gua Hira dan selanjutnya mendapat wahyu dari Allah. Wahyu yang secara esensial, berwatak religius, namun tetap menaruh perhatian pada situasi yang ada serta memiliki kesadaran sejarah. Ayat-ayat pertama Al-qur`an yang diwahyukan kepada nabi mengungkapkan keprihatinan yang mendalam terhadap situasi yang sedang terjadi di kota Makah.
            Kondisi Makah sejak abad kelima memang telah berkembang menjadi pusat perdagangan yang penting. Dengan demikian Makah berkembang menjadi pusat keuangan dari kepentingan nasional yang besar. Oleh karena itu, bersamaan dengan berkembangnya perdagangan dan peredaran uang, suatu pandangan hidup dan cara pandang baru muncul dan hal ini tidak selaras dengan kehidupan masyarakat yang beralaskan norma-norma kesukuan.
            Di satu sisi, kehidupan masyarakat pedagang tergantung pada keluasan ekonomi uang. Masyarakat ini mengembangkan lembaga-lembaga pemilikan pribadi, memperbanyak keuntungan, menumbuhkan disparitas ekonomi dan pemusatan kekayaan. Etika masyarakat perdagangan itu tentu saja bertabrakan dengan etika masyarakat kesukuan. Kebangkrutan sosial di makkah sesungguhnya berakar dari konflik-konflik ini. Bahkan mereka membentuk korporasi bisnis antarsuku dan menerapkan monopoli pada kawasan bisnis tertentu di tempat asal mereka. Orang-orang lemah dan tersingkir dari persaingan bebas ini mencoba membentuk asosiasi yang mereka sebut Hilf al- Fudul (Liga Orang-orang Tulus) dan nabi tergabung dalam liga ini.
            Agama apa pun, sebagaimana telah dinyatakan di muka, membawa ciri-ciri asal-usul kelahirannya, sekalipun agama itu agama wahyu. Ajaran Islam sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur`an, tanpa terkecuali juga terkena hukum ini. Tuhan menjanjikan dalam al-Qur`an untuk mengutus seorang pembimbing ketika suatu masyarakat menghadapi krisis sosial dan krisis moral. Nabi Muhammad dipilih sebagai instrumen kemahabijaksanaan Tuhan untuk membimbing dan membebaskan rakyat Arabia dari krisis moral dan sosial yang lahir dari penumpukan kekayaan yang berlebih-lebihan sehingga menyebabkan kebangkrutan sosial. Islam bangkit dalam setting sosial Makkah, sebagai sebuah gerakan keagamaan, namun lebih dari itu, ia sesungguhnya sebuah gerakan tranformasi dengan implikasi sosial ekonomi yang sangat mendalam, dengan kata lain menjadi tantangan serius bagi kaum monopolis Makah.
            Penting dicatat, kaum hartawan Makah bukan tidak mau menerima ajaran-ajaran keagamaan nabi; sebatas ajaran –ajaran tentang penyembahan kepada satu Tuhan. Hal itu bukanlah suatu yang merisaukan mereka. Akan tetapi, yang merisaukan mereka justru implikasi-implikasi sosial ekonomi dari risalah nabi itu. Seperti diketahui, di sana telah berkembang kepentingan ekonomi perdagangan yang sangat kuat. Mereka semuanya merasakan bahwa di dalam risalah terdapat suatu kepentingan akumulasi kekayaan yang selama ini berjalan tanpa rintangan. Akan tetapi, sekarang ayat-ayat al-Qur`an mencela penumpukan kekayaan itu. Salah satu ayat yang diturunkan di Makkah pada awal-awal Islam mengatakan:
                        “Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa harta itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam neraka Huthomah. Dan taukah kamu Huthomah itu? (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan, yang (membakar) sampai ke ulu hati” (Qs. al- Humazah [104]:1-7).
            Dengan demikian, sangat jelas bahwa orang-orang kafir dalam arti yang sesungguhnya adalah orang-orang yang menumpuk kekayaan dan menghidupkan secara terus menerus ketidakadilan serta merintangi upaya-upaya menegakkan keadilan dalam masyarakat.
            Dalam konteks Indonesia, masuk kategori orang-orang kafir yaitu mereka yang suka menumpuk-numpuk harta tanpa mau peduli terhadap nasib orang-orang kecil. Ini tidak hanya dilakukan oleh para investor asing yang mengeksploitasi Sumber Daya Alam Indonesia secara membabi-buta. Lebih dari itu, pelakunya juga orang-orang yang ada di sekitar kita. Nalar kafir telah begitu dalam merasuk dan berkarat sehingga menutup celah nalar sehatnya untuk sedikit sadar dan mau membantu orang-orang miskin yang berada di sekitarnya.  Kuatnya nalar kafir seakan menutup total kesadaran. Ironisnya lagi, bila kebetulan mereka ini (kata sebagian orang dikategorikan intelek muslim) justru mencari-cari dalil al-Qur`an dan hadis, atau berupaya memberikan interpretasi yang sekira membenarkan nalar kafirnya.
            Kategori kafir juga disematkan bagi mereka-mereka yang tidak berlaku adil. Dalam kategori ini, dalam konteks Indonesia, rasanya anak TK-pun akan mudah memberikan seabrek contoh tindak ketidakadilan yang secara terus-menerus terjadi di negeri ini. Ketidakadilan yang terjadi tidak hanya dalam ranah sosial, budaya, ekonomi, agama, bahkan pada ranah politik. Dalam tataran pemerintah sendiri kerap kali bahkan terasa muak mendengar dan melihatnya atas tindak ketidakadilan yang tidak kunjung usai sampai hari ini. Ketimpangan-ketimpangan tersebut bukan hanya terjadi pada tataran pemerintah pusat, lebih dari itu, ketimpangan ini sudah menjalar ke dalam hirarki pemerintahan yang paling bawah. Tidak hanya pada instansi-instansi pemerintah yang menangani bidang sosial, budaya, bahkan instansi yang menangani pendidikan. Dari hirarki pendidikan yang paling asfal hingga hirarki a`la. Dan di sinilah pentingnya nalar kritis mahasiswa --sebagai agen kontrol pemerintah.(bahan renungan 1)
Islam dan Negara
            Konsep masyarakat politik dalam Islam terutama haruslah didasarkan pada ajaran al-Qur`an. Dan, sejauh menyangkut kitab suci ini, dapat dimengerti sepenuhnya bahwa sejak semula al-Qur`an tidak memberikan konsep tentang negara, melainkan konsep tentang masyarakat. Perbedaan ini harus diingat dalam perdebatan tentang negara Islam. Harus diingat pula, al-Qur`an lebih bersifat simbolik daripada deskriptif dan karena validitas dan vitalitasnya terletak pada interpretasi dan reinterpretasi simbol-simbol ini, sesuai dengan perubahan-perubahan situasi ruang dan waktu.
            Ada perbedaan pandangan tentang konsep negara dan masyarakat politik dalam Islam. Ali Abdur Raziq dalam bukunya al-Islam wa Ushul Hukm berpendapat bahwa Islam tidak pernah mengklaim suatu bentuk pemerintahan duniawi; hal ini diserahkan untuk dipikirkan secara bebas oleh pemeluk-pemeluknya. Lebih lanjut ia menyebutkan bahwa al-Qur`an tidak pernah menyebut khalifah. Ini berarti bahwa kekhalifahan bukanlah bagian dari bagian dogma Islam. Ide tentang kekhalifahan dibuat oleh kitab-kitab fiqh yang disusun beberapa abad setelah wafatnya nabi. Di sisi lain, ada pula pendapat yang umumnya dianut oleh ulama kita bahwa agama dan politik merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam Islam. Pendapat lain umumnya diterima oleh kaum muslim ortodoks. Akan tetapi persoalannya menjadi sangat kompleks dan berjalan dengan berbagai faktor sehingga sangat sulit dipadukan begitu saja dengan pendapat lain. (bahan renungan 2)
            Untuk memahami masalah ini secara tepat, kita mesti mempertimbangkan beberapa kondisi politik yang ada di Makah sebelum Islam dan juga bagaimana masyarakat Islam secara bertahap mulai terwujud waktu itu. Menarik untuk ditelaah bahwa meskipun pusat perdagangan internasional, Makah tidak mempunyai struktur pemerintahan sendiri. Lembaga kerajaan tidak dikenal, tidak pula ada perangkat negara yang dapat dibandingkan dengan negara mana pun, tidak ada penguasa turun-temurun, juga tidak ada pemerintahan yang dipilih secara formal. Yang ada hanyalah suatu dewan suku yang dikenal dengan mala`(semacam senat).
            Di Madinahlah nabi mulai memberikan perhatian yang cukup serius untuk menciptakan organ yang dapat diterima semua pihak guna menangani semua urusan yang ada di kota itu. Menarik untuk dicatat bahwa masyarakat Madinah adalah masyarakat yang pluralistik, baik dari segi ras maupun agama. Di sana terdapat campuran ras Yahudi, Arab pengelana, terutama yang termasuk ke dalam dua suku Aus da Khazraj serta kaum muslimin emigran dari Makah.
            Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa heterogen masyarakat Madinah waktu itu sama dengan masyarakat di negeri-negeri sekuler modern dewasa ini. Negeri dengan ragam ras, suku, dan agama itu dipersatukan di bawah kepemimpinan nabi dan itulah yang disebut ummah. Meskipun sering kali kata ummah diterapkan hanya untuk komunitas muslim, sulit bagi kita untuk mendukung klaim seperti itu.
            Penting sekali hal ini dipahami bagi seluruh masyarakat Indonesia, terlebih bagi generasi muda yang menceburkan diri masuk golongan kaum intelek (mahasiswa) supaya memiliki nalar kritis terhadap  usaha kelompok yang akan mendirikan negara Islam. Baik pembentukan negara Islam yang mengacu pada tempat turunnya al-Qur`an, terlebih pendirian negara Islam di Indonesia. Ide pendirian negara Islam merupakan sebuah interpretasi segolongan (yang katanya dikategorikan) sarjana muslim klasik yang masih perlu dikaji ulang mengenai tendensi idenya tersebut. Untuk itu berhati-hatilah terhadap dogtrin-dogtrin tersebut (yang tidak menuntut kemungkinan agen-agen mereka sudah berkelimpung di kampus kita ini). (bahan renungan 3)
*Mahasiswa Ushuluddin Prodi TH VI Dimuat di al-`Irfan edisi 11
Referensi: Asghar Ali Enginer, Islam dan Pembebasan, Hassan Hanafi, Islamologi 1, Bertran Russell, Berpikir ala Filsuf.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar