Sabtu, 03 Desember 2011

PERSELINGKUHAN YANG INDAH ANTARA TASAWUF DAN FILSAFAT

Tasawuf dan filsafat selama ini kira pahami seolah merupakan dua hal yang saling bertolak belakang, jika kita mendengar kata tasawuf maka persepsi kita mengarah kepada seorang sufi, yang hidupnya zuhud, tidak mementingkan duniawi bahkan ada sufi yang sampai meninggalkan ikatan sosialnya dan memilih hidup menyendiri di hutan. Sedangkan filsafat sangat erat kaitannya dengan ranah pemikiran, berfikir secara radik, mendalam, jernih, tenang dan semacamnya.
Pada dasarnya semua aliran tasawuf akan bermuara pada titik yang sama yang bisa mengantarkan seorang sufi pada tingkat kebahagiaan yang sempurna yakni menjadi satu dengan Tuhan. Selama masih ada sekat pemisah antara seorang pecinta dan yang Dicinta seseorang tidak dapat mengalami “kesatuan eksistensi jiwa”. Cara satu-satunya agar dapat merasakan indahnya penyatuan diri hamba dengan Tuhan adalah dengan menyerahkan “diriku” sepenuhnya, segala “kepunyaanku” untuk menjadi satu dengan Engkau. Dalam ajaran sufi proses ini dinamakan bebas dari diri atau fana atau freedom from the self.
Fana memiliki arti meninggal, menghilang, pembinasaan, dan ketiadaan. Dimana kondisi diri sepenuhnya hilang dan menyatu dengan Realitas Universal. Dalam keadaan ini setiap saat, setiap waktu tidak ada yang di ingat selain-Nya tidak ada yang di fikirkan selain diri-Nya, bahkan seorang sufi bisa lupa dengan diri pribadinya. Hal inilah yang telah dirasakan oleh tokoh-tokoh sufi yang terkenal seperti Abu Yazid Al-Bustami, Rabiah Al-Adawiyyah, Al Hallaj dll.
Sekarang mari kita pahami tentang dunia filsafat, pada dasarnya tujuan dari filsafat adalah untuk mencari “kebenaran”. Menurut filsafat, kebenaran itu terdapat pada sesuatu yang “ada” dan sesuatu yang pasti adanya adalah Tuhan. Ada dua aliran besar dalam filsafat yang memiliki pandangan berbeda mengenai “sesuatu yang ada”. Dua aliran tersebut adalah Idealisme yang di pelopori oleh Plato, dan Realisme yang di motori oleh Aristoteles yang tidak lain adalah murid dari Plato.
Menurut aliran Idealisme, sesuatu di anggap benar jika terdapat pada atau dalam pikiran atau ide kita. Dan juga sebaliknya sesuatu di anggap tidak benar jika tidak ada dalam pikiran atau ide kita, atau di anggap sedang dalam keadaan tidak benar adanya. Sebagai contoh ketika kita sedang membaca sambil minum kopi, ketika kita sedang konsentrasi membaca,  pada saat itu secangkir kopi yang ada di depan kita  tidak berada dalam pikiran kita karena pikiran kita hanya terfokus kepada bacaan. Dalam keadaan seperti itu menurut paham idealisme secangkir kopi itu tidak benar adanya.
Demikian juga jika objek secangkir kopi di atas diganti dengan Tuhan, Tuhan dikatakan benar adanya jika kita dalam keadaan memikirkannya. Jika keadaan kita sebaliknya maka bagi kita Tuhan tidak ada atau untuk sementara sedang tidak ada. Seseorang yang bisa mengendalikan pikirannya, sehingga setiap saat, setiap waktu bisa memikirkan Tuhan maka orang tersebut secara tidak langsung telah menjadi seorang sufi, karena terus menerus hanya memikirkan Tuhan.
Sementara dalam pandandan Realisme sesuatu dikatakan benar adalah sesuatu yang “nyata” yang bisa di indera. Jika dikaitkan dengan tasawuf ada paham pantheisme artinya segala sesuatu yang ada didunia ini merupakan manifestasi dari Tuhan. Sehingga ketika kita melihat atau merasakan sesuatu yang bisa di tangkap oleh panca indra, maka kita secara tidak langsung telah mengingat penciptanya yaitu Causa Prima atau Tuhan. Bukan berarti kita menganggap bahwa semua benda adalah Tuhan, akan tetapi semua benda yang dapat kita indra merupakan bukti adanya suatu penyebab yang menjadikan benda itu ada.
Adanya hubungan yang special antara tasawuf dan filsafat ini membuktikan bahwa keimanan terhadap adanya sang Maha Benar merupakan hasil tertinggi dari rangkaian proses berfilsafat, meskipun semua ranah filsafat memakai metode keraguan pada akhirnya tidak ada keraguan akan adanya Realitas Universal. Seseorang yang menekuni dunia tasawuf akan lebih hebat dan mantap keimanannya ketika ia juga mempelajari dunia filsafat. Inilah yang sudah diterapkan oleh Al-Ghazali.
Apa yang dihasilkan oleh Al-Ghazali merupakan hasil dari rangkaian proses yang memakan waktu panjang dan kerja keras, proses perpaduan antara filsafat dan tasawuf. 

 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar