Selasa, 06 Desember 2011

HADIST MAUDHU'

BAB I
PENDAHULUAN
I.1  LATAR BELAKANG
            Menurut kenyataan,berangkat dari adanya pemalsuan hadis, sebagian ada yang menolak hadis sebagai sumber ajaran islam. Dengan adanya pemalsuan hadis, hadis dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan otentisitasannya. Sikap demikian ini merupakan kesalahan yang perlu diluruskan karena menggeneralisasikan terhadap semua hadis. Sementara kita mengetahui untuk memperoleh kejelasan otentisitas sebuah hadis, ulama hadis telah merumuskan konsep-konsep dasar metodologi penelitian hadis yang kokoh dan dapat dipertanggungjawabkan. Karena mutiara merupakan sesuatu yang bernilai tinggi maka banyak yang memalsukan dan membikin imitasinya. Demikian halnya dengan hadis. Dalam sejarah perkembangan islam, pemalsuan hadis merupakan fakta yang tak terbantahkan. Banyak motif yang melatari seseorang pemalsu membuat pernyataan yang disandarkan kepada Nabi. Paling tidak ia berasumsi bahwa pernyataan yang dibuatnya mendapat kekuatan sebagai bagian dari ajaran islam. Dengan demikian, orang akan meyakini kebenarannya terlepas dari periwayatan kecuali orang-orang yang telah memiliki ilmu untuk itu.
I.2  RUMUSAN MASALAH
            Adapun rumusan masalah dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
a.       Apa pengertian dari hadis maudu’ atau hadis palsu?
b.      Bagaimana ciri-ciri dari hadis maudu’?
c.       Apakah penyebab yang menimbulkan hadis maudu’?
d.      Bagaimana upaya untuk mengatasi pemalsuan hadis?
I.3  TUJUAN
            Tujuan pembahasan dari makalah ini supaya mahasiswa dapat mengetahui pengertian dari hadis maudu’, mengetahui ciri-ciri dari hadis maudu’, mengetahui penyebabyang menimbulkan hadis maudu’, mengetahui tokoh-tokoh pemalsu hadis,  megetahui upaya untuk mengatasi pemalsuan hadis. Semoga dari pembahasan ini mahasiswa dapat memahami mata kuliah ulumul hadits.


BAB II
                                                           PEMBAHASAN
A.  PENGERTIAN
                       
            الحديث secara bahasa berarti الجديد, yaitu sesuatu yang baru, selain itu hadits pun berarti الخبر , berita. Yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan  dari seseorang kepada orang yang lain. Sedangkan موضع merupakan derivasi dari kata  وضع – يضع – وضعا yang secara bahasa berarti menyimpan, mengada-ngada atau membuat-buat. Pengertian hadis maudu’ menurut istilah ahli hadis adalah:
“Hadis yang disandarkan kepada Rosulullah SAW, secara dibuat-buat dan dusta padahal beliau tidak mengatakan tidak memperbuatnya. Sebagian mereka mengatakan bahwa yang dimaksut dengan hadis maudu’ iayah hadis yang dibuat-buat.”
Sebagian ulama mendefinisikan hadis maudu’ adalah sebagai berikut:
“Hadis yang diciptakan dan dibuat oleh seseorang (pendusta) yang dinisbatkan kepada rosulullah secara paksa dan dusta baik sengaja maupun tidak”
            Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa hadis maudu’ bukanlah hadis yang bersumber dari Rosulullah atau dengan kata lain bukan merupakan hadis Rosul namun hadis tersebut disandarkan kepada Rosul. Para ulama berbeda pendapat tentang kapan mulai terjadinya pemalsuan hadis. Berikut ini akan dikemukakan pendapat mereka.
1.      Menurut Ahmad Amin bahwa hadis maudu’ terjadi sejak masa Rosull SAW masih hidup. Alasan yang dijadikan argumentasi adalah sabda Rosull SAW. Menurut hadis tersebut menggambarkan bahwa kemungkinan pada zaman Rosull telah terjadi pemalsuan hadis. Alasan yang dikemukakan oleh Ahmad Amin sebetulnya hanya merupakan dugaan yang tersirat dalam hadis tersebut, sebab dia tidak mempunyai alasan historis. Selain itu, pemalsuan hadis pada masa Rosulullah SAW tidak pula tercantum dalam kitab-kitab standar yang berkaitan engan Asbab Al-Wurud. Data menunjukan bahwa sepanjang masa Rosulullah, tidak pernah ada seorang sahabatpun yang sengaja berbuat dusta kepadanya. [1]
2.      Shalah ad-Din Ad-Dabi mengatakan bahwa pemalsuan hadis berkenaan dengan masalah keduniawian telah terjadi pada masa rasulullah SAW. Alasan yang dia kemukakan adalah hadits riwayat At-Tahawi dan At-Thabbrani. Dalam kedua hadits tersebut dinyatakan bahwa pada masa Nabi, ada seseorang telah membuat berita bohong dengan mengatas namakan Nabi Ia mengaku telah diberi wewenang oleh Nabi untuk menyelesaikan suatu masalah yang terjadi pada suatu kelompok masyarakat di sekitar Madinah.
3.      Menurut Jumhur Al-Muhaddisin pemalsuan hadis terjadi pada masa kekholifahan Ali bin Abi Thalib. Menurutnya hadis-hadis yang ada sejak zaman Nabi hingga belum terjadinya pertentangan antara Ali dengan Muawiyah masih terhindar dari pemalsuan. Dengan demikian jelaslah bahwa zaman Nabi tidak mungkin ada pemalsuan hadis. Demikian pula pada masa kekholifahan Abu Bakar, Umar bin Khotobdan Utsman bin Affan. Hal ini dapat dibuktikan dari kegigihan, kehati-hatian, dan kewaspadaan mereka terhadap hadis. Pada masa Ali mulai terjadi pemalsuan. Pada masa itu telah terjadi perpecahan politik antara golongan Ali dan Muawiyah. Upaya tahkim tidak mampu meredam pertentangan mereka dan membentuk kelompok sendiri (khowarij) golongan terakhir ini kemudian tidak hanya memusuhi Ali tetapi juga memusuhi Muawiyah. Masing-masing golongan selain berusaha untuk mengalahkan lawannya juga berupaya mempengaruhi orang-orang yang tidak berada dalam perpecahan salah satu cara yang ditempuh adalah dengan membuat hadis palsu. Dalam sejarah dikatakan bahwa yang pertama membuat hadis palsu adalah golongan Syiah.
B. CIRI-CIRI HADIS MAUDU’
     Menurut Mustafa As-Sibai karakteristik hadis palsu dapat ditinjau dari dua dimensi yaitu:
a.       Menurut Sanad
·         Perawi terkenal sebagai pendusta dan dalam hadis yang diriwayatkannya tidak ada perowi lain yang terpercaya.
·         Pengakuan dari si pembuat hadis palsu
·         Dorongan emosi pribadi dari si pembuat hadis palsu[2]
b.      Menurut Matan
·         Susunan kalimatnya yang tidak luwes dan tidak teratur
·         Kekacauan makna
·         Bertentangan dengan jankauan akal dan tidak dapat ditakwil
·         Bertentangan dengan kaidah umum dan kaidah tata cara kehidupan dalam keseharian
·         Mengajak pada syahwat dan kebejatan moral
·         Bertetangan panca indra dan kenyataan
·         Bertentangan dengan akal sehat yang menerima kemahasucian dan kemahasempurnaan Allah
·         Bertentangan dengan fakta-fakta historis ataupun sunah Allah
·         Bertentangan dengan ketentuan al-Quran yang tidak perlu ditakwilkan [3]
C. SEBAB-SEBAB YANG MEMOTIFASI PEMALSUAN HADIS
            Motif pemalsuan hadis, menurut Mustafa as-Siba i, dapat dikategorikan sebagai berikut:
1.      Pertentangan politik. Konflik politik yg terjadi di kalangan umat islam telah melahirkan suasana kehidupan yang bergelimang dengan kebohongan dan pemalsuan hadis Nabi. Dari aliran Syiah terutama kelompok Rofidhah banyak membuat hadis palsu yang berkenaan dengan pengutulsan terhadap sayyidina Ali dan ahli bait. Pembuatan  hadis palsu dari Syiah ini ditanggapi oleh kelompok lain yang menjadi lawannya. Misalnya dari kelompok sunni dan kelompok yang fanatik terhadap Muawiyah dengan membuat hadis palsau pula. [4]
2.      Kebencian terhadap islam. Pemalsuan hadis Nabi yang berkelompok membenci islam dipandang sebagai tindakan yang memungkinkan mereka menghancurkan islam karena secara historis, otentisitas periwayatan dan pelembagaan hadis dalam limit waktu yang cukup lama memeng dapat dipersoalkan, di samping hapalan umat islam terhadap hadis tidak sebagaimana terhadap al-Quran. Diantara golongan yang dapat dipandang sebagai berusaha menghancurkan islam adalah kaum zindik[5] termasuk kaum orientalis. Kaum zindik dalam usahanya menghilangkan kemurnian ajaran islam telah banyak membuat hadis palsu. [6]
3.      Perselisihan di bidang teologi dan hukum. Sebagian orang ada yang berbuat kesalahan dan mengorbankan ukhuwah islamiyah dengan membuat hadis palsu hanya karena ingin mendukung pandangannya terhadap konsep teologi atau konsep yurisprudensi.[7] hadis tersebut dilontarkan orang yang munafik terhadap mazhab hanafi. Sementara orang yang fanatik terhadap mazhab as-Syafii juga membuat hadis palsu juga.[8] Demikian juga halnya dengan orang yang fanatik terhap kaum teolog. [9]
4.      Sikap fanatik yang berlebihan. Sikap fanatik buta terhadap bangsa, suku, bahasa, negara, dan pemimpin dengan maksud menonjolkan keutamaannya juga telah membangkitkan motivasi unuk melakukan pemalsuan hadis. [10]
5.      Kecenderungan sementara orang kepada kemauan penguasa. Pemalsuan hadis dalam hal ini dijadikan sebagai ajang mencari muka di hadapan penguasa atau pejabat. Seseorang akan membuat pernyataan yang didasarkan kepada Nabi Muhammad guna mendukung keinginan penguasa atau pesan sponsor.
6.      Kecenderungan tukang cerita untuk menarik perhatian pendengarnya. Pemalsuan hadis dengan motif menarikperhatian ini dilakukan oleh pawang atau tukang cerita dan sasarannya adalah orang yang masih awam dan rendah dalam keberagamaannya.[11]
7.      Kecintaan terhadap kebaikan dengan jalan membodohi agama. Banyak dikalangan kaum zuhud atau sufi dan ahli ibadah yang membuat hadis palsu dengan maksud yang baik. Pemalsuan hadis dari kalangan mereka ini dianggap sebagia cara mendekatkan diri kepada Allah dan menjujung tinggi agama islam karena dapat membangkitkan gairah dan menimbulkan antusiasme untuk beribadah dan taat kepada Allah.  
D. TOKOH-TOKOH PEMALSU HADIS
            Diantara tokoh-tokoh yang terkenal sebagai pembuat hadis palsu alah sebagai berikut:
1.      Abd al-Karim bin al-Auja. Ia mengaku telah mengaku membuat hadis palsu sebanyak 4000 hadis isi hadis-hadis tersebut menyangkut penghargaan terhadap hal yang halah dan penghalalan terhadap yang hara mpengakuan itu diucapkannya sebelum naik tiang gantungan sebai hukuman atas perbuatannya memelsukan hadis.
2.      Abu Ismah Nuh bin Abi Maryam. Ia adalah seseoramg ulama besar yang menguasai berbagai disiplin ilmu hingga disebut sebagai al-jami. Ia membuat hadis palsu tentang keutamaan surah-surah tertentu dalam al Quran pemalsuan hadis ini dilakukan karena menurutnya bamyak umat islam yang telah berpaling dari ajaran al-Quran dan sibuk dengan fiqih ala Abu Hanifah dan sejarah yang dikemukakan oleh Muhammad bin Ishaq. Dengan pemalsuan hadis tersebut diharapkan umat islam kembali pada al-Quran.
3.      Abu al-Khatib bin Diyah. Ia adalah seorang yang telah membuat hadis tentang shalat qasar maghrib. Menurut seorang ulama besar dari Baghdad yang menulis kitab Tarjamah abd al-Aziz ibn Harts at-Timimi al-Hanbali, Abu al-khatib bin Diyah mempunyai kebiasaan jika berfatwa dan ia tidak menemukan dalilnya maka ia membuat hadis palsu untuk melegalisasikan fatwanya. [12]
4.      Disamping tokoh-toh diatas masih banyak lagi tokoh lain seperti Aban bin Jafar an-Numairi, Ibrahim bin Zaid al-Asqalani, Ahmad bin Abdulllah al-Jawaibari, Muhammad bin Syuja al-Laisi, Haris bin Abdullah al-Amar, Muqatil bin Sulaiman, al-Waqidi, Ibnu Abi Yahya, Gulam Khalil, Ghiyas bin Ibrahim, Jabir bin Yazid al-Jufi, Abu Dawud al-Ama, Bayan bin Saman al-Mahdi, Muhammad bin Said al-Maslub al-Sami, Mughirah bin Sad al-Kufi[13], dan lain-lain.
E. UPAYA MENGATASI PEMALSUAN HADIS
            Pemalsuan hadis dalam sejarah perkembangan islam merupakan kenyataan yang tak dapat dibantah. Hal ini memiliki implikasi yang sangat besarbagi pemahaman umat islam terhadap hadis. Oleh karena itu, upaya pemberantasan pemalsuan hadis dipandang merupakan sustu keniscayaan, disamping pemeliharaan terhadap otentisitasnya. Dalam rangka memberikan solusi terhadap persoalan pemalsuan hadis yang muncul, ulama telah menawarkan konsep dasar yang barsifat metodologis yang memungkinkan siapapun secara akurat mampu mendeteksi pemalsuan hadis. Mustafa as-Sibai memberikan rincian tentang langkah-langkah penelitian hadis sebagai upaya mengatasi pemalsuan hadis sebagai berikut:
1.      Meneliti sanad hadis. Penelitian sanad hadis salah satu upaya selektif terhadap penerimaan hadis. Dalam kaitannya dengan upaya mengatasi pemalsuan hadis, penelitian sanad mempunyai arti penting dalam mendeteksi pemalsuan hadis. Oleh karena itu penelitian sanad tersebut mendapatkan prioritas utama jika dibanding dengan penelitian matan. Ada beberapa hal yang menjadi perhatian dalam peneliyian sanad hadis yakni tentang kualifikasi keabsahan keriwayatan seorang yang termasuk matai rantai kelangsungan hadis ketangan seseorang perawi sebagai seorang peneliti hadis.
2.      Mengukuhkan hadis-hadis. Pengukuhan hadis ini dilakukan dengan jalan meneliti dan mencocokan kembali pada sahabat, tabi’in, dan ulama ahli hadis.[14] Pengukuhan hadis sebagai salah satu aktivitas mengatasi persoalan pemalsuan hadis menggambarkan adanya upaya melestarikan tradisi intelektual. Hal ini dimaksudkan untuk mendukung keutuhan ajaran islam dari segala bentuk pencemaran melalui pemalsuan hadis. Dengan melestarikan tradisi inimaka kemungkinan besar segala bentuk pemalsuan hadis dapat dideteksi. Apabila kita menelusuri kehidupan ulama terdahulu maka kita akan mendapati bahwa mereka memiliki semangat yang tinggi dalam mencari hadis.
3.      Meneliti rawi hadis dalam rangka menetapkan status kejujurannya. Di samping penelitian terhadap sanad hadis, penelitian terhadap perawi hadis dipandang sebagai salah satu upaya selektif dalam mencari kesahihan hadis dan membedakannya dengan hadis palsu. Ibnu Daqiq al-Id memandang bahwa keberadaan perawi hadis sangat menentukan kesahihan dan kepalsuan hadis. Sebab dalam hal ini perawi sebagai peneliti terhadap sanad dan matan hadis, dianggap sabagai yang mentakhrij hadis dan bahkan dianggap sebagai seseorang yang melembagakan dalam karyanya.
     Ulama hadis, sebagaimana dikemukakan Syuhudi Ismail, berpendapat bahwa ada dua hal yang harus diteliti pada diri pribadi periwayat hadis untuk dapat diketahui apakah riwayat hadis dikemukakannya dapat diterima sebagai hujjah ataukah harus ditolak. Kedua hal itu adalah keadilan dan kedabitannya. Keadilan berhubungan dengan kualitas pribadi,[15]            sedang kedabitan berhubungan dengan kapasitas intelektual perawi.[16]  Apabila kedua hal itu dimiliki seorang periwayat hadis maka periwayat tersebut dinyatakan tsiqah dan hadis yang diriwayatkannya dapat diterima. Sebaliknya apabila seorang periwayat hadis tidak memiliki kedua hal itu tersebut maka hadisnya perlu dipertanyakan ulang.
     Mustafa as-Sibai secara tegas menjelaskan tentang perawi hadis yang harus disingkirkan periwayatannya , diantaranya adalah orang yang berdusta dan telah mengaku telah menerima hadis Nabi, orang yang suka berdusta, kendatipun tidak pernah membuat hadis palsu, orang zindik dan orang yang tidak menyadari apa yang mereka katakan serta orang yang tidak memiliki sifat teliti, adil dan cerdas.  


                                                                   
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
     Perlu ditegaskan bahwa pemalsuan terhadap hadis perlu ditinjau lagi dari segi pengembangan pemahaman dan pengamalan ajaran islam. Oleh karena itu upaya dari umat islam khususnya para pakar hadis merupakan keniscayaan, kendatipun hal ini ada yang menganggap sebagai sikap dan tindakan yang mustahil dilakukan. Pembasmian hadis-hadis palsu yang telah melanda umat islam diarahkan sebagai langkah ke depan dalam menjaga kemurnian ajaran islam sehingga pembasmian tersebut akan banyak dampak positif dalam mengangkat ketinggian ajaran islam. Disamping itu, umat islam tidak dipandang terbelakang sebagai akibat berpegang pada hadis yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Upaya yang telah dilakukan ulama hadis dalam menghadapi pemalsuan hadis menuntut kesadaran tinggi dari umat islam untuk benar-benar kritis dan jeli dalam mengamalkan sebuah hadis dan hendaknya mereka berpegang pada hadis-hadis yang jelas kesahihannya yang termuat dalam kitab-kitab hadis yang sudah diakui keberadaannya.











DAFTAR PUSTAKA
ash-Shiddieqi, Habsi. Sejarah dan pengantar Ilmu Hadis. Cet. XI. Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
as-Sibai, Mustafa. as-Sunnah: Makanatuha fi at-Tasyri’ al-islamy, terjemahan Dja’far Abd. Muchith, al-Hadis Sebagai Sumber Hukum. Bandung: CV. Diponegoro, 1993.
Ismail, M.Suhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Mudasir. Ilmu Hadis. Bandung: Pustaka Setia, 1999.















                                                     

            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar