Jumat, 02 Desember 2011

*Mahkota Sandal Jepit*



                Kondisi umat Islam khususnya Indonesia saat ini (tahun 2011), tidak beda dengan kondisi umat Islam tahun 70-an. Pada masa itu, menurut pengamatan Prof. Snouch Hurgronje: “Bukannya al-Qur’an dan hadis yang memberikan pengertian tentang Islam kepada kita, akan tetapi kitab-kitab hukum dan teologi yang telah ada sejak abad III H”. Abad III H merupakan masa kejayaan pemikir Islam dan banyak melahirkan karya tulis (tafsir al-Qur’an, kitab-kitab fiqih, dan lain-lain). Ini merupakan sebuah respon terhadap al-Qur’an dan hadis sebagai sumber ajaran. Usaha pemahaman al-Qur’an dan hadis yang dilakukan tentu tidak bisa lepas dari setting sosial, situasi dan kondisi yang meliputi pada masa itu.
            Karya-karya yang dilahirkan pada masa kejayaan Islam inilah yang belakangan menjadi rujukan umat untuk memahami ajaran Islam, khususnya di Indonesia. Dengan beragam alasan pengagungan karya-karya pemikir Islam abad III H,  serta adanya anggapan bahwa kualitas umat semakin jauh dari Nabi semakin menurun, umat Islam mendalami hasil pemikiran-pemikiran tersebut, dan tanpa disadari keadaan ini justru semakin menjauhkan umat Islam dari (mempelajari) al-Qur’an dan hadis. Realitas ini akan kita dapati di lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tersebar di berbagai pulau di Indonesia. Menu pengajaran yang disajikan di dominasi oleh produk-produk pemikir abad III H (kitab tafsir, kitab hukum fiqh, kitab teologi, dan lain-lain –semua produk pemikiran yang relevan pada masanya namun tidak demikian di masa kekinian).
            Demikian bukan berarti umat Islam tidak butuh kitab fiqh maupun ushul fiqh; karena tanpa mengetahui dua hal tersebut mustahil kita bisa melaksanakan rukun Islam. Namun perlu kita sadari, para pemikir Islam abad III H dalam semua karyanya merupakan sebuah usaha pemahaman Islam (al-Qur’an dan hadis) yang sesuai dengan kebutuhan umat pada masa itu. Lantas yang menjadi pertanyaan serta bahan renungan besar kita adalah: mampukah produk-produk pemikir abad III H menjawab serta memberikan solusi demi kemaslahatan umat di zaman sekarang? Apakah semua permasalahan umat yang sangat kompleks ini sudah tertulis solusinya di turats-turats? Mari kita renungkan bersama.
            Kuatnya muatan doktrin seakan-akan mengambil-alih total kesadaran umat Islam untuk selalu diajak bernostalgia di abad III H. Tak ayal, meski hidup di zaman modern, tidak sedikit kita jumpai umat Islam yang bernalar konsernatif. Perkembangan ilmu pengetahuan ternyata belum mampu memberikan “pencerahan nalar” konservatifnya, sehingga mampu melihat kondisi objektif umat Islam yang saat ini sangat terpuruk. Lantas dimanakah realisasi kuntum khoiru ummatin yang tertera dalam kitab yang shahih li kulli zaman wa makan: al-Qur’an? Realitas di Indonesia--yang notabene bangsa berpenduduk mayoritas Islam, tak sedikit kita jumpai umat yang masih bernalar konservatif. Jenjang pendidikan formal yang tinggi belum mampu membuka nalar konsernatif, sehingga tak heran jika kebetulan orang-orang seperti ini menjadi kaum otoritas penentu kebijakan, tak ayal, kebijakan yang dilontarkan pun merupakan manifiestasi nalar konservatif. Penyelenggaraan Perguruan Tinggi Islam pun belum mampu membuka mata hati untuk sadar realitas. Menu kurikulum keagamaan serta perangkat-perangkat yang meliputi yang dihidangkan masih jauh dari cukup untuk menggiring peserta didik ke arah berpikir sadar realitas, sehingga yang terjadi: “?” (silahkan renungkan).
            Untuk merubah keterpurukan tersebut, umat Islam harus berani menelaah kembali al-Qur’an dan hadis yang sesuai dengan situasi dan kondisi kekinian. Al-Qur’an dan hadis adalah teks mati, manusialah yang mampu membuat teks tersebut berjalan. Sebaliknya, jika nalar konservatif masih dikuduskan, maka sebagai akibatnya, umat Islam tidak akan bisa bangkit dan maju untuk melakukan pembaharuan di segala bidang, sebagaimana yang dilakukan Barat-Eropa selama ini. Hal demikian bukan berarti mengagung-agungkan nalar modern Barat serta menjadikannya teladan utama untuk menggantikan nalar konservatif Islam. Tetapi yang penting dicatat, bahwa umat Islam akan tetap terpuruk bahkan mati, jika tetap berada pada kesadaran masa lalu sementara mereka hidup di masa sekarang dengan problem dan tantangan yang jauh lebih kompleks dari apa yang dihadapi oleh ulama klasik beberapa abad yang lalu.
Ini yang telah dilakukan pemikir Islam modern Dr. Ir. M. Shahrur dari Syiria. Dalam bukunya Nahwa Usul Jadidah li al-Fiqh al- Islami: Fiqh al-Mar’ah, Shahrur melakukan pembacaan yang mendalam tentang isu-isu mengenai perempuan. Disini Saya sedikit melirik beberapa argument pembacaan Shahrur dari at-Tanzil (proses turunnya wahyu) mengenai jilbab dan aurat bagi wanita. Namun sebelumnya, Saya sarankan bagi kawan-kawanku semua untuk tidak mudah naik darah ketika membaca argument pembacaan Shahrur tesebut akibat dari telah sesaknya nalar klasik yang telah mengendab dan berkarat di benak kawan-kawanku semua. Menurutnya, jilbab adalah konstruksi budaya Arab yang tidak wajib diikuti. Sebab, masalah pakaian sangat terkait dengan sistem dan norma yang berlaku dalam masyarakat yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain. Jilbab sama sekali bukan ukuran bagi wanita muslimah atau bukan. Dalam konteks Indonesia, tidak ada jaminan wanita berjilbab berarti wanita yang benar-benar paham dengan Islam serta menjalankan ajarannya dengan baik. Begitu pula wanita yang tidak berjilbab tidak ada jaminan bahwa mereka wanita yang tidak tahu ajaran Islam sama sekali, atau jangan-jangan justru malah sebaliknya!?
Sementara pendapatnya dalam hal aurat diterapkan Batas Minimal dan Batas Maksimal. Fitrah manusia dalam berpakaian adalah “pergeseran” antara dua batasan (maksimal dan minimal). Batas Maksimal berpakaian wanita adalah menutup seluruh bagian tubuh selain wajah dan dua telapak tangan. Sedangkan Batas Minimal dalam berpakaian adalah menutup bagian buah dada, ketiak, kemaluan, dan pantat. Wanita yang berpakaian demikian sudah dianggap Islami. Bila ditarik ke konteks Indonesia, bagaimana menurut Anada, Islamikah pakaian Julia Perez dan Dewi Persik?? (Pakaian atas sampai bawah medtet; Jawa --atas bawah mencil). Atau tidak Islamikah pakaian wanita adat Jawa; Nyai Ronggeng --pakaiannya serba medtet; Jawa, kondisi dada terbuka dan lekuk tubuh terlihat jelas, tapih (Jawa: Sewek) ketat, dan tanpa jilbab (malah rambutnya disambung: sanggul) yang tak asing lagi bagi kita? (silahkan renungkan)
Shahrur menyatakan bahwa kategori pakaian disesuaikan dengan kondisi sosial yang melingkupi dimana Islam itu berada. Jilbab dikatakan pakaian Islami Bangsa Arab karena budaya Arab memang ketika pra-Islam sudah memiliki budaya demikian. Budaya sangat menentukan ragam pakaian sebagai kategori pakaian  Islami. Beda bangsa beda kebudayaan. Hal ini sudah barang tentu melahirkan ketentuan ukuran pakaian yang dikategorikan Islami. Ketika Islam dibawa ke Indonesia --yang memiliki budaya berbeda dengan dunia Arab, sudah bisa dikatakan Islami pakaian yang dikenakan Nyai Ronggeng.
Spirit patriarkis telah mempengaruhi bentuk relasi antara perempuan dengan fiqih Islam yang bersifat historis-humanis serta mempengaruhi pandangan fiqih terhadap posisi perempuan di tengah masyarakat. Akibatnya tradisi Arab yang terkait dengan perempuan berubah menjadi ajaran agama. Untuk itu jangan sampai tertipu oleh seruan sebagian orang yang berusaha membakukan pandangan tersebut dan berusaha mencampuradukkan antara kemajuan dan sekularisasi, karena hal itu hanya akan mengembalikan perempuan kepada zaman suku-suku badui Bangsa Arab yang kehidupan mereka tidak seperti yang kita harapkan. Sedangkan kita sebagai Bangsa Indonesia memiliki kebudayaan dan tradisi yang nyata-nyata berbeda. Silahkan renungkan. Bersambung…….
            *Interpretasi judul
Mahkota      : Simbol kejayaan, kemajuan, modernitas, kehidupan kekinian
Oval Callout:    Nalar ManusiaSandal jepit : Simbol ketradisionalan, konservatif
                                                                            Konservatif (sandal jepit)
                                   Manusia                 zaman modern (mahkota)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar